Entah bulan berapa kejadian ini, saya mulai lupa. Entah kenapa juga saat itu tak langsung membuka lembaran kertas dan menggoreskan pena, ataupun menekan power laptop dan menjelajahi kebordnya. Tapi saya masih ingat betul perasaan saya hari itu, tepatnya sore itu.

Mengajar bukan bidang saya. Sebagai lulusan MIPA matematika, saya merasa jengkel setiap kali ada yg bertanya "ngajar di sekolah mana sekarang?". Bagaimanapun saat ini jatah jajan saya peroleh dari mengajar. Awalnya saya hanya kepincut 'pingin punya uang sendiri', dan melamarlah saya pada sebuah bimbingan belajar, alhamdulillah saya diterima. Semakin saya menjalani profesi ini, semakin saya gak bisa enjoy sama segala hal dalam lingkaran belajar-mengajar ini. Tapi entah kenapa setiap ada tawaran, saya terima. Ah, rasanya saya masih terlalu money oriented.

Sampai akhirnya saya menerima tawaran dari bimbingan di dekat rumah. Saya yang sudah sangat jenuh mengajar anak2 bandel di bimbel sebelumnya, harus menelan kecewa krn ternyata anak2 di bimbel ini 2x lipat lebih tak bisa diatur.

Seperti biasa bocah2 4-5-6 SD itu berlari sana kemari, tak menggubris saya yg sedang mengajari materi tentang persentase. Suara saya seperti hilang timbul ditelan teriakan dan gaduh hentakan kaki mereka di lantai triplek. Mereka baru akan diam saat latihan diberikan, satu2 mulai mengacungkan tangan, saling mendahului meminta penjelasan cara mengerjakan soal. Sesekali saya akan berkata ketus, " Siapa suruh gak perhatiin tadi!", tapi lebih sering tak tega melihat muka memelas mereka.
Seorang bocah kurus berwajah bollywood, Fahri, mulai berdendang nyanyian Aceh, lalu dilanjutkan dengan lantunan Al-qur'an, merdu...

Fahrun, kembaran Fahri (mereka berdua gak ada mirip2nya, dan saya baru tau mereka kembar hari itu), tetap mengerjakan latihan dgn tekun (saya rasa Fahrun lebih gampang diatur ketimbang anak2 lain).

Khalis, laki2 kecil berwajah tengil, dan baju selalu awut2an dan dekil. Ia memaksa saya memberi tau jawaban latihan, saya hanya menunjuk cara yang ada di papan, ia tetap memaksa, akhirnya saya menyerah dan memdikte cara penyelesaian tanpa memberi jawaban akhir.

Nanang, kelas 6, dan sangat bertenaga. Sangat suka menjahili kawan2 sekelas yang notabene adik kelasnya, suka membantah, tidak pernah menulis dengan rapi, semaunya dan suara bervolume besar.



Lalu sore berikutnya, ketika saya melihat Nanang begitu patuh,,,dan kelas sepi. Saya baru akan membuka mulut,

"Kak, si Fahri, Fahrun n Hhalis gak les lagi" Nanang bersuara. Deg!
"Kok?"
"Les di sekolah"

Selanjutnya hingga akhir jam belajar Nanang tetap patuh, dan saya tetap mengajar. Hanya saja ada sesuatu yang hilang dari diri saya.

Mungkin saya rindu kebandelan, lantunan Al-qur'an, hentakan kaki, dan teriakan mereka.




5 komentar:

kalo udah kehilangan baru terasa sayang y mb, :)
tetep semangt y mb ngajarny
^^

kehilangan baru terasa setelah dia pergi...

ya, kadang baru berasa merindukan setelah kehilangan.. tapi nggak apa-apa, mungkin les disekolah adalah pilihan yang terbaik buat mereka.. at least setidaknya kamu dah mencoba.

ayook semangaaat!! \^_^/

rezka : iya ni,,,hiks. tapi saya tetap gak bisa enjoy ngajar, gak jiwanya kali ya,hehe.

joe : persis! =(

mas gaphe : saya sbnarnya sedih sekaligus bersyukur, berkurang deh anak2 bandel di kelas,hehe..

muti : siip!kayaknya ada ni. Ntar kk tanya ma yg punya bimbel..hehe

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.

Yang Punya...

Foto saya
A wife and insya Allah a future mother :D. Small figure, suka jalan2 ke alam terbuka, tp jg suka mendekam drumah dgn setumpuk film n buku. Kadang kalo lagi kumat juga suka berbuat hal2 gila bareng anak2 dodol :D. Oia, saya juga suka banget sama suami saya *eh, itu mah harus yak :p Ex.mahasiswi Mipa Matematika, yg sedang awut-awutan menimba ilmu lagi di negeri formosa, berasa salah jurusan (wktu S1 merasa gini juga sih) tapi ya wes dilanjutkan aja, sejak kapan sih punya ilmu itu ngerugiin :D a life, sky, photography and Pepnosaurus lover ^_^

Followers